Oleh : Nurul Arifin
Buanglah sampah pada tempatnya. Slogan klasik yang masih menjadi kegelisahan hingga hari ini. Masalah sampah akan menjadi masalah yang cukup pelik jika kita tidak mulai berusaha menanganinya.
Sampah bukan hanya akan jadi masalah saat banjir atau terjadi bencana. Sampah sudah menjadi masalah saat ia baru menjadi sampah.
Kadang kita enggan memungut sampah yang tergeletak di teras sekolah, misalnya, kemudian memasukkannya ke dalam tong sampah.
Apa kita hanya akan diam saja?
Banyak program yang telah dibuat untuk mengurangi buang sampah sembarangan. Di SMKN 1 Gombong ada program ‘Semut”, sejenak memungut, yang cukup baik dalam konsepnya serta sederhana dalam pelaksanaannya. Siswa dituntut memungut sampah yang dihasilkan selama proses pembelajaran, ini sekaligus sebagai tanggung jawab membersihkan area kerjanya sendiri, baik di ruang kelas atau di bengkel praktik. Jadi, Bapak/Ibu guru harus kompak dengan siswa, saat waktunya “semut” harus menyelesaikan proses pembelajaran dan memulai melaksanakan program semut. Tidak ada kata tanggung.
Karena nyatanya kita masih saja menemukan sampah di meja, di sela-sela peralatan praktik.
Jika konsisten, banyak pelajaran yang bisa diraih oleh siswa antara lain, tempat belajar jadi bersih dan nyaman, serta siswa menjadi punya kesadaran membereskan tempat belajarnya setelah selesai digunakan.
Ada juga program bakti kampus, sebulan bisa 2 kali sampai 3 kali. Dilaksanakan pada Jum’at minggu kedua, dan ketiga, serta kelima (kalau ada). Ini lebih ke arah melibatkan siswa dalam penataan dan kebersihan lingkungan.
Sebagai orangtua muda, saya juga menanamkan budaya “buang sampah pada tempatnya” kepada anak-anak saya. Walau mereka masih cukup kecil, umur 4,5 tahun dan 1,5 tahun, tapi saya bahagia mereka sudah bisa membuang sampah di tempat sampah. Saat tidak menemukan tempat sampah saat di luar rumah, anak-anak saya akan memberikan bungkus jajannya kepada ibunya. Sederhana tapi cukup membahagiakan.
Saya ingat saat menonton video di youtube produksi wacthdoc dalam Ekspedisi Indonesia Biru saat meliput suku Badui. Walau wilayah Baduy berada di pedalaman, tapi sampah di sana sudah banyak variasinya, dan sampah plastik cukup menggangu lingkungan hutan dan tempat tinggal mereka. Yang membuat saya salut, anak Suku Badui Dalam tidak disekolahkan di sekolah formal tapi mereka belajar langsung pada orangtuannya. Untuk anak yang masih di bawah 7 tahun mereka sudah diajarkan untuk mengumpulkan sampah berdasarkan jenisnya. Ironisnya di tempat kita yang sudah dianggap modern belum tentu mengajarkan hal tersebut kepada anak-anak.
Dalam ajaran agama masalah kebersihan ini sudah sering kita dengar. Tapi bagaimana dengan praktiknya? Ini menjadi tantangan kita bersama, sebagai warga sekolah dan sebagai umat manusia.
Jangan sampai ada pikiran bahwa sampah itu urusan petugas kebersihan saja. Oh tidak seperti itu, anak muda. Sampah itu masalah umat manusia, jadi kita sebagai manusia yang harus membereskannya.
Begitulah. Mari kita belajar bersama menjadi manusia.
Recent Comments